Makalah Psikologi Pendidikan (Frustasi)

Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.

Makalah Psikologi Pendidikan (Frustasi)

Makalah Psikologi Pendidikan (Frustasi)

BAB I
PENDAHULUAN

      Masing-masing individu memiliki perasaan apa yang terjadi pada dirinya sendiri., dan mengetahui serta memahami apa yang dimilikinya. Dengan memahami dan mengetahui apa saja yang  melekat pada dirinya sendiri, mereka akan merasakan dirinya lah yang merasa paling diantara yang lain. Walaupun sebenarnya masih ada banyak orang yang lebih akan dirinya, karena itulah perasaan tersebut memang terdapat pada setiap orang, dan itulah yang dinamakan dengan atau “The self”.

      Sepanjang hidupnya manusia selalu menghadapi masalah dan kesulitan. Maka kegiatan memecahkan kesulitan itu merupakan aktivitas manusiawi yang selalu diulang-ulang sepanjang hayat. Sebab hidup ini penuh masalah dan kesulitan, bahkan hidup itu sendiri adalah satu masalah pelik yang harus dipecahkan sendiri oleh setiap individu. Cepat atau lambat, setiap individu pasti menghadai kesulitan, di mana pengetahuan, inteligensi dan pengalaman hidupnya tidak bisa dijadikan senjata untuk memecahkan kesulitan tadi. Dan jika keinginan yang ingin dicapai tidak dapat tercapai dan terhambat, maka akan mengalami frustasi.
Pada makalah ini, kami akan memaparkannya dengan judul The Self dan Frustasi.










BAB II
PEMBAHASAN
THE SELF DAN FRUSTASI
A. Diri (The Self)
      1.   Pengertian The Self
            Pada dasarnya manusia itu terlahir dengan suci atau fitrah, yang belum mengetahui siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, dan seperti apakah lingkungan disekitarnya yang akan berinteraksi dengan dirinya. Sehingga selftidak ada atau belum ada pada saat manusia dilahirkan, atau pada waktu masih kanak-kanak. Karena itu self akan lahir dan terbentuk sebagai hasil dari hubungannya dengan orang-orang disekitarnya. Misalnya ibu, ayah, kakek, saat dia selalu berhubungan atau berinteraksi setiap hari.
            Jadi, apakah sebenarnya diri (self) itu? Diri (self) adalah semua ciri, jenis kelamin, pengalaman, sifat-sifat, latar belakang budaya, pendidikan dan sebagainya yang melekat pada seseorang. Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin mampu dia menggambarkan dirinya sendiri. Diri juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang          mengetahui dan diketahui, sesuatu yang mengamati dan dapat diamati.
            Dari beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian diri            (the self), yaitu:
      Dikatakan oleh seorang tokoh yang bernama James mengenai diri (the self) bahwa: diri, yang akhirnya berkembang ialah komposisi pikiran dan perasaan yang menjadi kesadaran seseorang mengenai eksistensi individualitasnya, pengamatannya tentang apa yang merupakan miliknya, pengertiannya mengenai siapakah dia itu, dan perasaannya tentang sifat-sifatnya, kualitasnya, dan segala miliknya. Diri seorang ialah jumlah dari apa yang bisa disebut kepunyaannya.
      Menurut William James dalam bukunya yang terkenal Principle of Psychologymengemukakan bahwa diri (self) adalah segala sesuatu yang  dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan psikisnya saja, melainkan juga tentang anak-istri, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, milik, dan uangnya.
      Menurut  De Vito, jika kita harus mendaftarkan berbagai kualitas yang ingin kita miliki, kesadaran diri pasti menempati prioritas tinggi. “Kita semua ingin mengenal diri sendiri secara lebih baik karena kita mengendalikan pikiran dan perilaku kita sebagaian besar sampai batas kita memahami diri sendiri, sebatas kita menyadari siapa kita”.
            Diri (self)  juga memiliki komponen-komponen tertentu meliputi:
a.   Komponen pengamatan, yaitu: cara seseorang mengamati diri sendiri,         tanggapannya tentang wajahnya, gambaran mengenai kesan-kesan yang     dibuatnya terhadap orang lain.
b.   Komponen pengertian, yaitu pengertian seseorang tentang berbagai sifatnya,          kesanggupan-kesanggupannya, miliknya, kekurangan serta batas          kemampuannya, dan pengertiannya tentang latar belakang asal-usulnya, serta          masa depannya.
c.   Komponen sikap, yaitu: meliputi perasaan orang terhadap dirinya sendiri,   asal-usul latar belakang sikapnya terhadap kedudukannya pada saat ini, dan          harapannya tentang hari depannya, kecenderungannya terhadap rasa            bangganya atau perasaan yang bercampur mengenai penerimaan atau           penolakan dirinya.
      Diri dibentuk tidaklah siap sedari mula. Perkembangan diri diantaranya, menyangkut suatu proses deferensiasi. Anak memulai kehidupannya sebagai suatu bagian dari tubuh atau badan ibunya. Beberapa waktu setelah kelahirannya, ia tetap tak berdaya dan bergantung pada orang lain, tetapi segera setelah itu, ia aktif mencobakan kapasitas-kapasitasnya. Jika ia menangis, orang datang. Karena itu, ia berubah dan mendapat pandangan baru. Sementara itu, ia menyelidiki batas-batas dirinya terhadap lingkungannya dan ia mencobakan batas-batas kesanggupannya. Ia menunjukkan tanda-tanda kesanggupannya akan membedakan orang dan barang, dan perbedaan dirinya sendiri dengan orang lain. Dan jelaslah baginya bahwa hal-hal dari dunia luar dapat mempengaruhi dirinya, bahwa ada perbedaan antara pengalamannya dan hal-hal yang khusus terjadi atas dirinya, sehingga ia mempunyai perasaan tertentu.
      Salah satu ciri perkembangan diri ialah makin bertambahnya kesadaran tentang milik dan kemampuan dirinya. Si anak mencapai kesadaran mengenai bagian-bagian badannya. Pada usia tertentu, ia juga mengenal kembali tekanan, kemauan, dan kebutukan yang sudah dapat ia bedakan dari perasaan puas bila kebutuhannya dipenuhi, atau tidak puas bila kebutuhannya tidak terpenuhi. Dan ia akan mengetahui bahwa terdapat perbedaan-perbedaan antara keinginan dan kemauannya sendiri dengan keinginan dan kemauan orang lain. Misalnya, ia menginginkan suatu permainan yang tidak diberikan ibunya kepadanya, ia mungkin ingin dibawa berputar-putar naik mobil, namun ayahnya tidak mau mengajaknya.[1]


2.   Konsep Diri  
      Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain. Konsep diri juga sebagai bayangan seseorang tentang keadaan dirinya sendiri pada saat ini dan bukanlah bayangan ideal dari dirinya sendiri sebagaimana yang diharapkan atau yang disukai oleh individu bersangkutan.
      Konsep diri seseorang mula-mula terbentuk dari perasaan apakah ia diterima dan diinginkan kehadirannya oleh keluarganya. Konsep diri ini yang pada mulanya berasal dari perasaan dihargai atau tidak dihargai. Perasaan inilah yang menjadi landasan dari pandangan, penilaian, atau bayangan seseorang mengenai dirinya sendiri yang keseluruhannya disebutkonsep diri.
      Menurut aliran Psikoanalisik, proses perkembangan konsep diri disebut proses pembentukan ego. Ego yang sehat adalah ego yang dapat mengontrol dan mengarahkan kebutuhan primitive (dorongan libido) supaya setara dengan dorongan dari super ego serta tuntunan lingkungan.
      Untuk mengembangkan ego atau diri yang sehat dengan memberikan kasih sayang yang cukup dan dengan cara orang tua menunjukkan sikap menerima anaknya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, terutama pada tahun-tahun pertama dari perkembangannya.[2]
3.   Penyesuaian Diri
      Penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya sehingga ada ungkapan mengenai penyesuai diri seperti: “Hidup manusia sejak lahir sampai mati tidak lain adalah penyesuaian diri”. Penyesuain diri merupakan suatu proses dan hasil individu atau kelompok manusia menghadapi situasi-situasi baru dalam lingkungan hidupnya, sehingga perilakunya dapat diterima di dalam masyarakat.
      Penyesuaian diri dapat diinterprestasikan dari titik pandang.
      Pertama, sebagai suatu hasil dengan menekankan pada kualitas dan efisiensi dalam penyesuaian, yaitu mengkaji sejauh mana individu-individu atau seseorang dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam lingkungan yang berbeda.
      Kriteria penyesuaian diri yang berkualitas adalah mempunyai kesehatan fisik yang baik, rasa nyaman terpenuhi, mampu bekerja secara efisien, dan mempunyai akseptabilitas sosial yang baik.
      Kedua, penyesuaian sebagai suatu proses, yaitu menekankan pada proses atau terjadinya penyesuaian individu-individu pada lingkungan dalam dan lingkungan luarnya, yaitu harus memahami terlebih dahulu masalah perkembangan manusia dari lahir sampai dewasa hingga pada usia lanjut. Proses penyesuaian diri ini tergantung dari interaksi dengan lingkungan sekitar tempat hidup.
      Apabila penyesuaian diri berjalan lancar, individu tidak mengalami hambatan, kalaupun ada hambatan dapat diamati dengan baik. Dan apa bila ada hambatan yang tidak dapat diatasi, hal itu dapat menimbulkan frustasi.
      Tidak semua individu dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik. Khusus penyesuaian diri yang buruk, pada kenyataannya tidaklah mudah untuk membedakan anak-anak yang mengalami penyesuaian diri yang buruk. Misalnya, penyesuaian diri yang terjadi pada anak-anak sekolah tidak mudah dideteksi oleh guru yang dalam keseharian lebih banyak menghadapi mereka.[3]
B.  Frustasi
1.      Pengertian Frustasi
      Jika seseorang ingin sekali memecahkan satu kesulitan hidup dan mencapai satu tujuan, namun pelaksanaannya terhalang-halangi, maka dikatakan bahwa dia mengalami frustasi .
            Jadi, frustasi ialah keadaan di mana satu masalah hidup atau kesulitan tidak            bias terpecahkan, dan satu kebutuhan tidak terpenuhi atau terpuaskan dan         orang gagal mencapai tujuan yang ingin dicapai.
            Frustasi menurut C.P. Chaplin adalah:
a.   Rintangan  atau penggagalan tingkah laku untuk mencapai sasaran,
b.   Satu keadaan ketegangan yang tidak mengenakkan/menyenangkan, dipenuhi         kecemasan dan aktivitas simpatetis yang semakin meninggi disebabkan oleh         perintangan dan penghambatan.
            Frustasi bisa juga menimbulkan situasi yang menguntungkan dan positif     sifatnya, akan tetapi dapat juga mengakibatkan situasi yang merusak atau negatif      bagi individu yang terkena. Bila motivasi-motivasi pencapaian tidak kuat, dam           objek yang ingin diraih secara relatif tidak begitu penting, maka mungkin objek      tadi bisa digantikan dengna objek pengganti lain. Misalnya, jika seorang tidak          bisa mendapatkan merk rokok yang disukainya, dia sudah merasa puas bila          mendapatkan rokok yang lain, asalkan ia bisa merokok walaupun tidak dengan            rokok merk kesayangannya. Akan tetapi, apabila motivasi-motivasi pencapaian       sangat kuat dan tujuan yang ingin dicapai sangat penting bagi dirinya, kemudian      dia mengalami frustasi, maka orang yang bersangkutan menjadi sangat tegang dan       amat emosional. Energinya bisa menjadi semakin bergolak dan aktivitasnya jadi          liar tidak terkendali.
1.      Temperamen dan toleransi individu dalam menghadapi kesulitan hidupnya
2.      Trauma atau “luka jiwa” dan pengalaman hidup yang pahit serta mengejutkan pada masa kanak-kanak
3.      Penghayatan yang baru-baru saja berlangsung yang sangat penting bagi pribadi yang bersangkutan
4.      Kehidupan perasaan atau afektif dan tekanan-tekanan sosial yang sangat berat dan menghimpit perasaan seseorang.[4]

2.   Reaksi-Reaksi yang Timbul Karena Adanya Frustasi
   Frustasi itu dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam, berlainan pada setiap orang. Hal ini bergantung kepada tabiat dan temperamen masing-masing dan bergantung pula kepada keadaan tiap orang yang memang tidak sama. Reaksi frustasi bisa bersifat positif maupun negatif.
a.       Reakisi frustasi positif antara lain:
·         Mobilisasi dan penambahan aktivitas
     Mobilisasi dan penambahan aktivitas adalah bentuk reaksi frustasi yang positif, karena dengan merasakan frustasi bisa memobilisir seluruh kemampuan pribadi, dan mengaktualisasikan segenap potensi cadangan untuk mengatasi hambatan.
·         Besinnung (mawas dengan kebeningan hati)
      Besinnung ialah menggugah ikhtiar, dan memaksa orang untuk berpikir lebih jernih mengenai masalah sulit yang tengah dihadapi. Setiap frustasi memberikan masalah, dan mengharuskan manusia melihat realitas dengan mengambil distansi atau jarak tertentu. Sehingga dengan adanya distansi, orang mampu mawas diri dan mau mengadakan reorganisasi terhadap aktivitas dan akal budinya untuk mencari perspektif-perspektik hidup baru. Sehingga frustasi merupakan challenge atau tantangan untuk diatasi dengan pikiran yang jernih dan ketabahan hati.
·         Resignasi (tawakal dan pasrah diri)
      Resignasi adalah tawakal atau menyerahkan diri pada belas kasih Tuhan Maha Kuasa dan menerima dengan syukur dalam menghadapi ujian Tuhan berupa kesulitan hidup, dengan sikap rasional dan sikap ilmiah. Sehingga orang tidak menjadi putus asa dan kecil hati, akan tetapi akan terus berusaha dan bekerja lebih tekun, disertai dengan “keseimbangan batin” dalam mengatasi frustasinya, tanpa menghayati konflik-konflik batin yang serius.
·         Kompensasi atau substitusi dari tujuan
      Kompensasi yaitu proses penggunaan perilaku substitusi/penggantian untuk mengatasi frustasi fisik atau frustasi sosial atau kekuranganmampuan dalam satu bidang kepribadian.
      Pelaksanaan satu tugas penting bila mengalami hambatan, akan menimbulkan ketegangan batin yang kuat. Sehingga menuntut agar penyelesaiannya dengan jalan menghilangkan semua dimensi ketegangan.
      Kompensasi hampir bersamaan dengan sublimasi, yakni penyaluran jiwa dengan jalan mengalihkan usaha kearah tujuan atau perbuatan lain, guna mencapai kepuasan. Tetapi terutama kompensasi itu dilakukan oleh seseorang yang menderita perasaan kurang harga diri yang disebabkan oleh cacat tubuh, kebodohan, kemiskinan, ketidaksanggupan mencapai sesuatu. Seorang murid yang tidak pandai dalam suatu mata pelajaran mungkin ia akan mencari jalan agar dapat menarik perhatian teman-temannya dengan jalan membuat gaduh di waktu pelajaran itu, atau mungkin ia akan mencari prestasi yang lebih tinggi dari teman-temannya pada mata pelajaran lain.
·         Sublimasi
Sublimasi merupakan usaha untuk mensubstitusikan atau menggantikan kecenderungan-kecenderungan yang egoistis, nafsu-nafsu seks yang animalistis, dorongan-dorongan biologis yang primitif, dan aspirasi-aspirasi sosial yang yang lebih berbudaya dan bisa diterima oleh masyarakat.
Di dalam reaksi ini terdapat suatu usaha untuk melepaskan diri dari kegagalan dan ketidakpuasan dengan jalan mencari kemungkinan yang lebih baik dalam mencapai tujuan. Bahkan kalau perlu dengan jalan mengubah tujuan yang sama sekali berbeda dengan tujuan menimbulkan frustrasi.
Sebagai contoh, seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis, tetapi tidak tercapai keinginannya karena tidak disetujui oleh gadis harapannya, dapat mengalihkan tujuannya dengan cara menulis karangan-karangan atau syair pemujaan mengenai si gadis, dan lain-lain, sehingga mungkin menjadi seorang seniman yang ternama.

b.      Reaksi frustasi negatif antara lain:
·         Agresi
      Reaksi agresi pada frustasi menentang atau suatu serangan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Sebagai akibat dari frustasi itu mungkin timbul perasaan-perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif. Apabila seseorang secara pribadi mengalami frustasi yang ingin dipuaskannya secara agresif ia mungkin menendang kursinya atau memperlihatkan kejengkelannya dengan cara lain. Tetapi apabila segolongan orang mengalami frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan mudah sekali perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang di persangkainya.
·         Pendesakan
      Sering kali frustasi mendatangkan reaksi pendesakan, yang mana reaksi ini adalah usaha menghilangkan dan menekan beberapa kebutuhan dan macam-macam emosi yang tidak menyenangkan ke dalam ketidaksadaran atau di bawah sadar.
      Beberapa nafsu dan dorongan harus dikendalikan dan dimasukkan ke dalam ketidaksadaran, disebabkan oleh larangan-larangan agama, adat istiadat, hukum larangan formal., keinginan, pikiran-pikiran dan beberapa kebutuhan vital yang tidak sesuai dengan norma susila dan hati nurani sendiri, harus didesakkan ke dalam bawah sadar, karena dianggap tidak sopan dan tidak bernilai. Sehingga terjadi kompleks-kompleks terdesak.
      Meskipun kompleks terdesak tersembunyi dalam ketidaksadaran, namun ia belum lenyap sama sekali
·         Proyeksi
     Reaksi ini ialah usaha untuk melemparkan atau memproyeksikan sikap, fikiran, dan harapan-harapan sendiri yang negatif pada orang lain.
Biasanya, orang itu enggan mengakui kelemahan dan kekurangan sendiri,  lalu memproyeksikan semua kehidupan perasaan dan fikiran-fikiran yang negatif pada orang lain.
     Misalnya, jika seorang pegawai sangat iri dan dengki terhadap suksesnya kawan sekerjanya, maka dia akan menyebarkan kabar angin, bahwa kawan yang sukses itulah yang suka dengki dan iri hati pada dirinya, suka cemburu dan buruk hati.[5]



BAB III
KESIMPULAN

      Diri (self) adalah semua ciri, jenis kelamin, pengalaman, sifat-sifat, latar belakang budaya, pendidikan dan sebagainya yang melekat pada seseorang. Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin mampu dia menggambarkan dirinya sendiri.
      Diri (self)  juga memiliki komponen-komponen tertentu meliputi:
a.   Komponen pengamatan
b.   Komponen pengertian
c.   Komponen sikap
      Frustasi ialah keadaan di mana satu masalah hidup atau kesulitan tidak bisa terpecahkan, dan satu kebutuhan tidak terpenuhi atau terpuaskan dan orang gagal mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Reaksi-reaksi yang timbul karena adanya frustasi:
a.   Reakisi frustasi positif antara lain:
·         Mobilisasi dan penambahan aktivitas
·         Besinnung (mawas dengan kebeningan hati)
·         Sublimasi
b.   Reakisi frustasi positif antara lain:
·         Agresi
·         Pendesakan
·         Proyeksi
DAFTAR PUSTAKA

Alex, Sobur. 2003.  Psikologi Umum. (Bandung: CV Pustaka Setia)
Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. (Jakarta: PT Bumi Aksara)
Kartono, Kartini. 1994. Psikologi Sosial untuk Manajemen, Perusahaan, dan          Industri, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Prawira, Purwa Atmaja Prawira. 2013. Psikologi Pendidikan dan Perspektif Baru, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media)





       [1] Sobur, Alex. Psikologi Umum. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 499-504.

       [2]Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Sinar Grafindo Offset), hlm. 129-130.
       [3] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dan Perspektif Baru, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2013), hlm. 355-362.
       [4]Kartini Kartono, Psikologi Sosial untuk Manajemen, Perusahaan, dan Industri, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.
       [5] Kartini Kartono, Ibid., hlm. 255-261.

0 Response to "Makalah Psikologi Pendidikan (Frustasi)"

Posting Komentar